Pendahuluan
Dalam menuliskan Syekh Siti Jenar, saya sama sekali tidak mengedepankan sisi agama. Bukan berarti saya pro maupun kontra, tapi semata-mata karena kisahnya yang misterius.
Tulisan ini bukanlah seratus persen mengungkap sosok Syekh Siti Jenar, karena tokoh yang juga konon disebut sebagai wali kesepuluh ini, rupanya sosoknya cukup misterius.
Jika Anda merasa bingung dengan isi tulisan ini, lebih baik hentikan saja. Itu lebih bijak daripada salah menafsirkan isi dan maksud.
Sebelum mempelajari tentang ajaran Syekh Siti Jenar, marilah kita mengenal aliran Sufi secara ringkas saja :
Sufi sendiri adalah mereka atau orang-orang yang mempelajari Tasawwuf. Pemikiran Sufi sudah berkembang pada abad ke 8 di Timur Tengah.
Tasawwuf sendiri adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, menjernihkan lahir dan batin. Tasawwuf pada awalnya adalah bentuk dari menjauhkan duniawi (Zuhud) dalam Islam dan melahirkan tradisi mistisme Islam. Sering pula dikaitkan dengan Syiah dan Sunni, dan beberapa cabang Islam yang lain.
Empat Tingkatan Spirtual
Syariat dalam ilmu Tasawwuf memiliki empat tingkatan. Apa sajakah tingkatan itu?
1. Syariat
2. Tariqah atau Tarekat
3. Hakikat
4. Ma'rifat
Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar dikenal pula dengan nama Sitibrit, Lemahbang, Lemah Abang, Sitibang, Siti Abri, Hasan Ali Ansar, Sidi Jenar, San Ali, dan mungkin masih banyak lagi. Adalah seseorang yang kontroversial, karena ajarannya yang bertentangan dengan ajaran Sembilan Wali pada masa itu. Salah satu hal yang paling melekat pada Syekh Siti Jenar adalah "Manunggaling Kawula Gusti" atau dengan kata lain, Tuhan bersatu dengan diri manusia. Adapun yang mengatakan bahwa Siti Jenar sudah mencapai tahap tertinggi, yaitu Ma'rifat.
Berbagai cerita mengenai asal-usulnya semakin memperkesan bahwa tokoh ini memang misterius, lebih misterius dari Sembilan Wali lainnya. Berikut adalah beberapa cerita yang mengiringi asal-usulnya :
- "...dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar."
- "...saat Sunan Bonang memberikan pelajaran ikhtikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni oleh cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia di sabda oleh Sunan Bonang menjadi manusia, dan diberi nama Seh Siti Jenar"
Memang, cerita tersebut terkesan seperti dongeng dan kurang masuk akal. Namun terlepas dari segala bentuk macam kesaktian, ada pula cerita pembandingnya ialah sebagai berikut (dari Yuliano's blog yang mengutip Serat Candhakipun Riwayat Jati; Alih Aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm 1) :
- "Adapaun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang"
Dan berikut adalah cerita pembanding yang lain yang juga dari web Heritage of Java :
- "Namun, menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) Syekh Lemahbang (Siti Jenar) berasal dari Baghdad beraliran Syi'ah Muntadar yang menetap di Penggiring Jawa dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Penggiring (Kebokenongo) dan masyarakat."
Maka, dari dua cerita pembanding diatas dan bahkan yang satu berasal dari web yang sama, maka bisa dipastikan bahwa Syekh Siti Jenar bukanlah si cacing atau hewan apapun, melainkan lelaki tulen.
Adapun mengenai deskripsi dari Syekh Siti Jenar, menurut Agus Sunyoto yang notabene adalah penulis sejaran Syekh Siti Jenar, mengatakan bahwa :
"Tubuhnya jangkung, tegap dan berotot. Kulitnya putih kemerahan, hidunya mancung, alis matanya tebal. Matanya setajam elang. Postur tubuhnya yang lain dari kebanyakan orang pribumi, membuat San Ali (nama kecil dari Syekh Siti Jenar) mudah dikenali. Apalagi mendengar namanya yang sangat asing ditelinga menunjukkan bahwa di adalah salah satu peranakkan Melayu-Gujarat."
Syekh Siti Jenar mencari Tuhan
Dikisahkan seorang santri yang bernama San Ali (Syekh Siti Jenar ketika kecil) tengah berguru di Pondok Giri Amparan Jati yang diasuh oleh Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama yang Baghdad (menurut wikipedia, sedangkan versi lain mengatakan ia berasal dari Mekkah)
Tidak seperti murid-murid Pondok Giri Amparan Jati yang lain, Syekh Siti Jenar tatkala kecil suka menyendiri. Rupanya kesendiriannya itu didasari atas kesukaanya mengamati kegiatan masyarakat yang ada di sekitar Pondok Giri Amparan yang mempunyai kebiasaan membuat sesaji untuk diserahkan kepada Penguasa Alam Semesta (Tuhan).
Hal itu rupanya menjadi sesuatu yang San Ali pikirkan, karena Syekh Datuk Kahfi, gurunya, pernah berkata padanya bahwa manusia hanya diwajibkan menyembah Tuhan, bukan membuat persembahan maupun sesaji.
Seiring bertumbuh dewasanya San Ali, berkembang pulalah rasa keingin tahuannya. Teman-teman sepondokkannya sering dibuat bingung oleh komentar-komentar serta argumen-argumennya yang sulit dipahami oleh pemikiran masyarakat pada masa itu.
Hal itulah yang langsung disikapi oleh Syekh Datuk Kahfi ketika melihat perkembangan San Ali yang memiliki jalan pemikiran yang tidak pada umumnya. Oleh karena itulah, Syekh Datuk Kahfi langsung memberinya peringatan agar tidak menyebarkan pendapat-pendapat pemikirannya (San Ali) kepada teman-temannya yang lain. Dan oleh karena hal tersebut, Syek Datuk Kahfi pula lah yang menjadi pembimbing langsung San Ali.
Namun, San Ali masih saja tidak bisa membendung keingintahuannya atas hakikat Tuhan.
Akhirnya, Syekh Datuk Kahfi mengambil sikap yang lain. Barangkali inilah jalan terakhir yang dilakukan Syekh Datuk Kahfi untuk menyikapi pemikiran San Ali, yaitu memintanya untuk berkelana sendiri mencari Tuhan.
Pemikirannya mengenai hakekat Tuhan serta pengembaraan dirinya, telah membawa ia kepada suatu pemikiran, yang dimana jika pemikiran itu dipaparkan, maka akan menimbulkan silang pendapat, dan sangat sulit dimengerti kecuali oleh Syekh Siti Jenar itu sendiri.
Menurut ajaran buku Manunggaling-Kawula Gusti karya Sri Muryanto yang mengutip tulisan Suwardi Endraswara, diceritakan pula gagasan Siti Jenar tentang kehidupan.
Adapun gagasan Siti Jenar ialah sebagai berikut:
Menurut Syekh Siti Jenar, dunia ini justru bukan alam kehidupan yang sebenarnya. Alam sebernanya adalah setelah kematian. Siti Jenar berpendapat bahwa hidup di dunia ini justru sebuah kematian, dan baru setelah manusia meninggalkan jasadnya maka ia kan memperoleh kehidupan yang sejati.
Dia berpendapat bahwa manusia yang hidupnya selalu sedih, sengsara, kebingungan dan sejenisnya, adalah manusia yang terpuruk dalam kematian hidup. Manusia yang terdegradasi nilai, yang curang, yang keras, yang korup dan sebagainya adalah manusia yang telah mati.
Jika demikian, dunia ini telah dipenuhi berjuta-juta mayat yang kotor, bangkai yang amis dan struktur kehidupan yang mati tak karuan pula. Tak sedikit "mayat" yang kejar-kejaran mengais rezeki yang haram. Tak sedikit pula mayat yang berebut kedudukan. (Suwardi Endraswara, 2003: 91)
Manunggaling Kawula Gusti
Ada dua versi yang saya temui, yaitu "menjadi atau merasa bersatu dengan Tuhan", dan "tidak menjadi Tuhan, namun sesungguhnya semua makhluk akan kembali kepada-Nya".
- Menjadi Tuhan
Namun, dengan tegas Syekh Siti Jenar berkata, "Sesungguhnya Syekh Siti Jenar tidak ada, yang ada hanyalah Tuhan."
- Pendapat kedua, tidak menjadi Tuhan, namun semua makhluk akan kembali kepadaNya
Para pendukung Syekh Siti Jenar tidak menganggap bahwa Syekh Siti Jenar tidak menjadi Tuhan, melainkan, semua makhluk akan kembali kepada Sang Pencipta. Dengan kembali kepada Sang Pencipta, maka makhluk tersebut telah kembali kepada Tuhan.
Pendapat Imam Al Ghazali mengenai Manunggaling Kawula Gusti
Sebenarnya, Syekh Siti Jenar bukanlah satu-satunya yang terkenal dengan Manunggaling Kawula Gusti (walaupun namanya mungkin bukan Manunggaling Kawula Gusti, namun memiliki kesamaan). Ada dua tokoh lain yang bernama al Hallaj dan Jalaluddin Rumi.
Imam Al Ghazali mengingatkan bahwa ucapan para asyikin (orang-orang yang diliputi mabuk kepayang kepada Tuhan) harus disikapi hati-hati :
"Dalam saat kemabukkan, seharusnya tidak menceritakan pada khalayak ramai, jadi sebaiknya disembunyikkan. Alasannya, mereka sendiri (yang sedang dimabuk kepayang) ketika tingkat kesadarannya mulai pulih kembali, maka kembali pula kemampuan akalnya, sehingga mereka itu bukan benar-benar menyatu dengan Tuhan, tetapi hanya menyerupai keadaan menyatu."
Imam Ghazali mengibaratkan orang yang belum pernah menyaksikan sebuah cermin, kemudian tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah cermin dan menyaksikan gambar dirinya di sana. Disangkanya bahwa gambar yang disaksikan pada cermin itu adalah cermin yang menyatu dengan dirinya.
Peringatan Imam Ghazali hendaknya menjadi pengetahuan dan pegangan bagi mereka yang ingin mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Jika sudah mencapai tataran makrifat, maka jangan sekali-kali mengklaim dirinya telah menjadi Tuhan. Sebab, manusia sebagaimana kodratnya adalah tetap manusia, sedangkan Tuhan adalah Zat gaib yang jauh berbeda dengan makhluknya.
Imam Ghazali memberi komentar seperti berikut:
"Itulah keadaan hamba sejati, seolah-olah tidak lagi memuja dan menyembah, tidak memper-Tuhan. Ia menjadi jabariyah sejati, tidak ada wujud berdua, seolah-olah ibarat tiada, keadaan hilang (kosong) atau fana, inilah kondisi ketiadaan yang murni. Dan ketahuilah bahwa keadaan fana-nya hamba tidak lantas menjadi Tuhan. Itulah pengelihatan tertinggi".
Syekh Siti Jenar adalah orang yang berani, ataukah ia seorang wali?
Sebagaimana kita tahu, pada masa Sembilan Wali, kekuasaan, pengaruh, serta hegemoni mereka sangatlah kuat. Syekh Siti Jenar adalah orang yang berani memberi kritikkan pada para Sembilan Wali pada masa itu. Sehingga, siapapun yang berani mengkritik mereka adalah orang yang sangat berani.
Adapun mengenai anggapan bahwa ia adalah seorang wali, adalah karena ia memiliki kesaktian pula seperti wali. Salah satu isu yang merebak ialah, cahaya yang muncul dari dalam Syekh Siti Jenar ketika ia telah meninggalkan dunia, serta muculnya bau harum.
Kematian Syekh Siti Jenar
Kematiannya tidak kalah misterius. Beragam versi bermunculan seperti asal-usul nya. Namun, hanya ada dua versi kuat mengenai kematian Syekh Siti Jenar.
- Syekh Siti Jenar tewas dieksekusi mati oleh Wali lantaran ia dianggap memberontak dan ajarannya tidak bisa dibenarkan.
Alasan lain karena ia di eksekusi ialah, para Wali khawatir bahwa ajaran Syekh Siti Jenar akan sulit dipahami oleh masyarakat awam, sehingga akan timbul berbagai macam versi dalam penafsirannya.
- Syekh Siti Jenar tewas lantaran ia memilih cara matinya sendiri. Sayangnya saya tidak mendapati bagaimana ia mengakhiri hidupnya. Ada yang mengatakan ia meminum suatu air dan ia mati dengan sendirinya. Pertanyaannya ialah, apakah ia mati bunuh diri? Padahal bunuh diri adalah salah satu perbuatan yang dilarang dalam Islam. Wajarkah seseorang yang mengaku bahwa ia sudah menyatu dengan Tuhan memilih mati dengan cara yang sangat dilarang?
Rupanya, baik asal-usul maupun sejarah kematiannya masih menyisahkan banyak tanda tanya dan beragam kontorversi. Apapun dirinya dan darimanapun asalnya. Silang pendapat dan perdebatan masih akan terus mengiringi.
Salah satu kritik yang pernah dilontarkan oleh Syekh Siti Jenar ialah,
"Meskipun kamu tahu dan dapat melakukan, tentu kamu akan salah melaksanakan, sebab kamu masih hanyut tenggelam dalam kesesatan. Melihat barang yang berupa permata dan emas yang berkilauan, harta kekayaan serta makanan yang beraneka warna, kamu menjadi terpikat. Jelas bahwa perilakumu itu salah. Sudah banyak ilmu yang kau tuntut, bahkan kadang kamu bermimpi di alam ilmu, tetapi dasarnya kamu santri gundul yang memburu hasil akal busuk, senang kalau ada sedekah" (Abdul Munir Mulkhan, 200: 305).
Sebagai penutup dari tulisan ini, saya akan tekankan lagi, bahwa cerita mengenai Siti Jenar masihlah simpang siur karena banyaknya versi. Tulisan ini mungkin adalah bagian dari kesimpang siuran. Namun, bagi saya, Syekh Siti Jenar tetaplah saya pandang sebagai salah satu tokoh yang misterius dari Indonesia, bukan karena ajarannya, namun mengenai dirinya sendiri.
Sumber : Heritage of Java, mail-archieve.com, wikipedia Sufisme, Yuliano's blog, Shvoong, elbudur blogspot, wikipedia Syekh Siti Jenar, Ajaran Manunggaling Kawula Gusti